Kudeta Militer dalam Sistem Khilafah dan Sekuler
Abu Muhtadi dan Hafidz Abdurrahman
Kudeta (bahasa Prancis: coup dÉtat), berarti merobohkan legitimasi. Kudeta kemudian diartikan sebagai tindakan merampas kekuasaan dengan cara inkonstitusional dan seringkali bersifat brutal. Hingga kini kudeta merupakan cara efektif, dan meski sering dikecam oleh para penganut demokrasi, tetapi serangkali dilakukan untuk memperoleh kekuasaan dengan cara singkat. Terbaru adalah apa yang kita saksikan di Mesir, di mana Presiden Mesir yang sah, Dr Mohamad Mursi, digulingkan oleh Jenderal as-Sisi karena dianggap oleh Amerika tidak mampu mewujudkan stabilitas yang bisa mengamankan kepentingannya di Mesir dan Timur Tengah secara umum.
Lalu bagaimanakah hukum kudeta dalam pandangan Islam? Apakah kekuasaan yang diperoleh melalui jalan kudeta bisa dianggap sebagai kekuasaan yang sah? Bagaimana kalau kondisi ini terjadi dalam sistem Khilafah?
Mengangkat Senjata untuk Merebut Kekuasaan
Karena fakta kudeta (al-inqilab al-'askariy) biasanya melibatkan kekuatan bersenjata dan identik dengan aktivitas mengangakat senjata, maka akan kita ulas terlebih dahulu hukum mengangkat senjata dan merebut kekuasan dalam persepektif fiqih siyasah Islam. Dalam kontek sistem khilafah, aktivitas mengangkat senjata terhadap penguasa merupakan perkara yang dilarang (haram) selama penguasa itu masih menerapkan hukum Islam, meski dia berbuat zalim dan fasiq.
Sebab ketaatan kepada pemimpin merupakan kewajiban. Rasulullah SAW menjadikan perintah thâ'at kepada amîr (pemimpin), seperti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika seorang khalifah memerintahkan pada kemaksiatan, maka perintah tersebut tidak boleh ditaati. Dengan kata lain, perintah pada kemaksiatan merupakan satu-satunya kondisi di mana perintah pemimpin itu boleh dilanggar. Namun, bukan berarti pemimpin tersebut lantas boleh dikudeta. Ketidaktaatan pada seorang pemimpin dalam hal kemaksiatan ('adam thâ'at al-amîr fil ma'shiyah) berbeda dengan kebolehan melakukan aktivitas melawan penguasa dengan senjata (jawâz al-khurûj 'alal hâkim).
Kebolehan mengangkat senjata (al-khurûj 'alal hâkim wa isyhârus saif) hanya boleh dilakukan dalam kondisi di mana pemimpin kaum Muslim telah menampakkan kekufuran yang nyata. Dari ‘Auf bin Malik al-‘Asyaja'i, Rasulullah SAW bersabda, “Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci, dan dia pun membenci kalian, serta pemimpin yang kalian laknat dan ia pun melaknat kalian.” ‘Auf bin Malik berkata, “Kami pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya..?” Rasulullah menjawab, “Tidak boleh, selama mereka masih menegakan shalat.” (HR Muslim).
Yang dimaksud dengan menegakkan shalat dalam hadits ini adalah menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Ini merupakan bentuk majaz, yakni menyebut bagian dari sesuatu dengan maksud seluruhnya (mim bâb ithlâqil juz’i wa irâdatil kul), seperti dalam firman Allah SWT, “Maka ia wajib membebaskan leher (seorang hamba)”, maksudnya, “Maka ia wajib membebaskan seorang hamba.”
Dalam hadits ‘Ubadah bin Shâmit, Rasulullah SAW menyatakan, “Kecuali, jika kalian melihat kekufuran yang nyata, sementara kalian memiliki hujjah yang pasti di sisi Allah SWT.” (HR Muslim). Frasa kufran bawâhandinyatakan dalam bentuk nakirah (tidak terdefinisi) dan maushufah (disifati), yang berati meliputi seluruh kekufuran yang dilakukan secara nyata dan terang-terangan, seperti memerintah dengan selain hukum Allah, membiarkan kemurtadan, dan sebagainya. Sementara frasa ‘indakum minallahi fîhi burhân menunjukkan, bahwa aktivitas kekufuran ini harus didasarkan pada dalil yang qhat'i (pasti dan tegas), sebab lafadz burhânhanya digunakan untuk menunjuk sesuatu yang dibangun berdasarkan dalil qhat'i.
Karena itu, keberadaan dalil qhat'iy merupakan syarat boleh dan tidaknya keluar untuk memerangi penguasa.Maka, tidak cukup hanya dibangun berdasarkan dugaan (dalil dzan), apalagi sekadar mengira-ngira (syubhah). Jika tidak terdapat dalil qath'i, bahwa yang dialakukan oleh penguasa itu merupakan kekufuran yang nyata, maka hukumnya menjadi haram, berdasarkan dua hadits di atas serta indikasi yang tegas sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang keluar dari ketaatan (kepada amir) dan meninggalkan al-jamaah (khilafah Islam) lalu ia mati, maka sungguh ia telah mati seperti dalam keadaan jahiliyah". (HR an-Nasai).
Kesimpulannya, dalam perspektif fiqih Islam, akvitas merebut kekuasaan dan mengangkat senjata terhadap penguasa tidak selamanya bersifat inkonstitusional. Namun, perlu dihukumi sesuai dengan fakta dan kondisinya. Dalam kondisi tertentu, yakni ketika dalam Negara Khilafah seorang khalifah menerapkan hukum kufur, maka mengangkat senjata dan merebut kekuasaan boleh dilakukan, bahkan wajib. Bahkan, ini justru menjadi jaminan diterapkannya sistem Islam.
Mengangkat Senjata Solusi Terakhir
Meski demikian, harus dipahami, bahwa ketika Islam memberikan kebolehan, bahkan menetapkan sebagai keharusan untuk mengangkat senjata, tetapi tindakan ini merupakan tindakan emergency (darurat). Karena jika tidak, kekufuran tidak bisa dihilangkan. Dikatakan sebagai tindakan darurat, karena jalan lain yang seharusnya bisa ditempuh secara normal sudah buntu.
Jalan harus yang ditempuh, sebelum mengangkat senjata adalah:
Pertama, khalifah yang melakukan kufran bawwahan (kekufuran yang nyata) harus ditetapkan kekufurannya oleh Mahkamah Madzalim.
Kedua, Setelah terbukti, maka tugas Mahkamah Madzalim berikutnya adalah memberhentikannya dari jabatan khilafah. Jika mekanisme ini tidak berjalan, bisa jadi karena Mahkamah Madzalim dibubarkan oleh khalifah, atau khalifah diberhentikan, tetapi tidak mau, justru melawan dengan seluruh kekuatan yang ada di tangannya.
Ketiga, jika mekanisme kedua tidak bisa dilakukan, baik karena Mahkamah Madzalim dibubarkan oleh khalifah, atau khalifah tidak mau diberhentikan, dan bahkan melakukan perlawanan, maka umat wajib mengangkat senjata. Tujuannya, untuk mengembalikan pemerintahan agar tetap para track-nya, yaitu menerapkan hukum Islam secara kaffah.
Lalu siapa yang harus memimpin dan menyerukan pengambilalihan kekuasaan, dalam kondisi, ketika Mahkamah Madzalim dibubarkan, dan khalifah melakukan perlawanan? Di sini tugas partai politik bersama umat. Partai politik dan umat yang mempunyai kesadaran politik itu pun bangkit, dengan dukungan militer (Ahl an-Nushrah), maka pengambilahan kekuasaan bisa dilakukan. Dengan demikian, pemerintahan yang telah menyimpang tersebut akhirnya kembali pada track-nya.
Sejarah Mesir di zaman Shalahuddin al-Ayyubi sesungguhnya memberikan gambaran, kurang lebih seperti ini. Mesir sebelumnya dikuasai Bani Fathimiyyah, yang mengikuti Syi’ah Isma’iliyyah, Bathiniyyah atau Qaramithah. Sekte ini termasuk sekte sesat. Meski tidak persis melalui kudeta, tetapi ketika Shalahuddin memegang tampuk kekuasaan, termasuk militernya, maka dia bersihkan Mesir dari paham sesat tersebut. Universitas al-Azhar juga tidak luput dari pembersihan. Setelah semuanya dikembalikan pada ajaran yang benar, maka Mesir pun disatukan dengan Khilafah ‘Abbasiyyah. Shalahuddin pun memberikan baiatnya kepada khalifah saat itu.
Harus dicatat, ketentuan ini hanya berlaku dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam), ketika hukum Islam diterapkan secara kaffah, kemudian penguasa Muslim yang awalnya menerapkan hukum Islam melakukan revolusi kufur, yaitu mengganti hukum Islam dengan hukum kufur.
Tetapi, jika penguasa yang sebelumnya memang tidak menerapkan Islam, dan bukan penguasa Muslim, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka upaya mengambalikan penerapan hukum Islam tentu bukan dengan jalan kudeta, atau mengangkat senjata, tetapi wajib dilakukan dengan cara yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW melaui dakwah dan upaya thalabun nusrah dengan meyakinkan pihak-pihak yang secara riil memiliki kekuasaan.
Konsekuensi Kudeta
Sebagai langkah emergency, kudeta ini jelas membawa konsekuensi. Antara lain, terjadinya perpecahan di tubuh umat. Kondisi ini sebagaimana dialami oleh umat Islam, pasca wafatnya Sayyidina ‘Ali, dan naiknya Mu’awiyah. Mu’awiyah awalnya mendapatkan kekuasaan setelah Perang Shiffin, dan Arbitrase yang dilakukan oleh Abu Musa al-‘Asy’ari, mewakili pihak ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Amru bin al-‘Ash, mewakili Mu’awiyyah.
Sementara, kekuasaan yang diperoleh melalui baiat harus dilakukan dengan sukarela (muradhah wa ikhtiyar). Bukan paksaan. Padahal, diakui atau tidak, kudeta ini merupakan bentuk pemaksaan. Karena itu, pemerintahan hasil kudeta (hukm at-tasalluth) ini hukum asalnya tidak sah. Dengan begitu, siapa saja yang merebut kekuasaan dari tangan seorang khalifah yang sah tidak serta merta bisa menjadi khalifah, meski ia telah mengumumkan dirinya sebagai khalifah bagi seluruh kaum Muslim.
Sebab akad kekhilafahan hanya sah, jika dilakukan dengan baiat yang diambil berdasarkan sukarela (muradhah wa ikhtiyar), yang keduanya merupakan syarat sahnya sebuah akad. Namun, jika ia berhasil meyakinkan masyarakat, bahwa kemaslahatan mereka bisa diwujudkan dalam pemerintahannya, dan ada jaminan hukum-hukum Islam diterapkan dalam kekuasaannya, kemudian kaum Muslim membaitnya dengan senang hati (muradhah wa ikhtiyar), maka kekuasaan pihak yang mengudeta itu sah.
Karena, dia telah mendapatkan kekuasaan tersebut dari rakyat melalui proses baiat yang sah, sebagaimana yang terjadi pada peralihan kekhilafahan dari Bani Umayyah ke Bani ‘Abbasiyyah. Kaum Muslim saat itu dengan pertimbangan mencegah dharar yang lebih besar, di samping meyakini, bahwa penguasa yang baru bisa menjamin diterapkannya hukum Islam, maka mereka membaiatnya dengan sah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sayyidina al-Hasan bin ‘Ali kepada Mu’awiyyah, ketika Sayyidina al-Hasan sebagai khalifah yang sah memberikan baiat kepada Mu’awiyyah, demi menyatukan suara umat Islam. Sejak saat itu, atau tepatnya setelah ‘Am al-Jama’ah (Tahun Rekonsiliasi), Mu’awiyyah telah menjadi khalifah yang sah.
Dengan kata lain, siapapun yang memiliki kekutatan riil di tengah masyarakat (ahl al-quwwah), lalu dia dibaiat oleh kaum Muslim dengan cara yang sah, atau dia menyerahkan kekuasaan itu kepada pihak lain, kemudian pihak yang diserahi kekuasan itu dibaiat secara sah oleh umat, maka orang yang dibaiat itu dianggap sah menjadi seorang khalifah.
Dalam kontek Mesir saat ini, apa yang dilakukan oleh ‘Abd al-Fatah as-Sisi jelas tidak dibenarkan oleh Islam. Pertama, tindakannya untuk mengudeta Mursi, bukan untuk menerapkan hukum dan sistem Islam, melainkan untuk melanggengkan sekulerisasi di Mesir. Kedua, tindakannya itu juga untuk melayani kepentingan Amerika, yaitu mewujudkan stabilitas di dalam negeri, agar tidak terjadi delegetimasi pemerintahan, yang menyebabkan terjadinya kevakuman politik, yang bisa dimanfaatkan oleh negara kafir penjajah yang lain, baik Inggris, Prancis maupun yang lain. Ketiga, tindakannya dengan membantai rakyat Mesir, termasuk keluarganya sendiri, adalah jelas merupakan pelanggaran berat di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam.
Sumber : http://mediaumat.com/
|
0 Response to "Kudeta Militer dalam Sistem Khilafah dan Sekuler"
Post a Comment