Menjaga Persatuan dan Kesatuan Wilayah Islam Harga Mati
Oleh: Hafidz Abdurrahman,
Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI
Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI
Islam mewajiban kaum Muslim untuk bersatu sebagai satu umat. Allah SWT berfirman, "Inna hadzihi ummatukum ummat[an] wahidat[an] wa ana Rabbukum fa'buduni" (Sesungguhnya umat kalian adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku) (TQS al-Anbiya' [21]: 92). Dengan redaksi yang agak berbeda, khithab (seruan) yang sama juga dinyatakan oleh Allah dalam QS al-Mu'minun [23]: 52. Karena itu, meski mempunyai latar belakang etnis, bangsa dan bahasa yang berbeda, umat Islam adalah umat yang satu. Karena mereka mempunyai Tuhan yang sama (Allah); kitab suci yang sama (Alquran); Nabi yang sama (Muhammad); kiblat yang sama (Ka'bah); agama yang sama (Islam), bahkan negara yang sama (Khilafah).
Islam bukan hanya menetapkan umatnya sebagai satu umat dan mewajibkan mereka untuk bersatu di bawah naungan satu kepemimpinan, yaitu Khilafah, sebagaimana sabda Nabi, "Falzim jama'ata al-muslimin wa imamahum." (Berpegang teguhlah pada jamaah kaum Muslim dan imam/khalifah mereka) (HR Ibn Majjah). Pada saat yang sama, Islam juga memerintahkan agar siapa saja yang memecah belah persatuan kaum Muslim harus dibunuh.
Ini ditegaskan oleh Nabi, "Man baya'a imam[an] fa'thahu shafqata yadihi wa tsamrata qalbihi falyuthi'hu in istatha'a fain ja'a akhar yunazi'uhu fadhribu 'unuqa al-akhira" (Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, kemudian memberikan uluran tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia menaatinya sebatas kemampuannya. Jika ada orang lain merebutnya, maka bunuhlah yang terakhir) (HR Muslim).
Tidak hanya itu, Islam juga menetapkan bahwa mati untuk membela harta, termasuk wilayah kaum Muslim adalah mati syahid. Ini dinyatakan dalam hadits Nabi, "Man qutila duna malihi fahuwa syahid " (Siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia mati syahid) (HR Muslim, Ibn Hibban, Ahmad).
Dalam pandangan Islam, harta kekayaan pribadi, umum maupun negara, merupakan harta kaum Muslim. Termasuk wilayah negeri-negeri Islam, semuanya merupakan harta kaum Muslim. Karena itu, mempertahankan harta tersebut, termasuk keutuhannya agar tidak pecah, dan dicaplok pihak lain, hukumnya wajib. Mati karenanya pun dinyatakan oleh Islam sebagai mati syahid.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, bisa ditegaskan bahwa menjaga persatuan dan kesatuan negeri kaum Muslim hukumnya wajib. Karena itu, persatuan dan kesatuan negeri kaum Muslim, dalam pandangan Islam, merupakan harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ini merupakan masalah ma'lum[un] min ad-din bi ad-dharurah(masalah agama yang penting). Karena itu, Sayyidina Umar pernah menyatakan, "La Islama illa bi al-jama'ah, wa la jama'at[an] illa bi al-imarah, wa la imarata illa bi at-tha'ah." (Islam tidak akan tegak, kecuali dengan adanya jamaah, dan jamaah tidak akan ada, kecuali adanya kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak akan ada, kecuali untuk ditaati) (Ibn 'Abdi al-Barr, Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlati Ibn 'Abdi al-Barr). Artinya, jamaah sebagai representasi persatuan dan kesatuan itu mutlak dibutuhkan oleh Islam.
Selain Islam menetapkan kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri kaum Muslim, Islam juga mengharamkan perpecahan dan memisahkan diri dari jamaah, atau kesatuan negeri tersebut. Tidak hanya itu, Islam juga memandang serius bentuk pelanggaran ini sehingga sanksinya pun tegas, yaitu dibunuh jika sendirian. Jika jumlah mereka yang melakukan pelanggaran tersebut banyak, maka sanksi bagi mereka adalah diperangi. Mereka disebut ahli al-baghy (kaum pembangkang) atau jamaknya, bughat (QS al-Hujurat [49]: 9). Meskipun mereka diperangi bukan untuk dihabisi tetapi untuk disadarkan dan diinsyafkan. Para fuqaha menyebut peperangan melawan mereka dengan istilah, qital ta'dib.
Dalam pandangan Islam, masalah separatisme atau upaya untuk memisahkan diri dari negeri-negeri kaum Muslim dianggap sebagai dosa besar, jika dilakukan oleh kaum Muslim; dan tindakan krimininal yang serius, jika dilakukan oleh orang-orang non-Muslim. Bahkan, bagi orang-orang non-Muslim yang melakukan tindakan tersebut, pertama-tama mereka bisa kehilangan dzimmah mereka sehingga bisa diusir dari negeri-negeri kaum Muslim sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap orang Yahudi Bani Qainuqa' yang diusir dari Madinah. Mereka juga wajib diperangi dan diusir, sebagaimana tindakan Nabi terhadap Yahudi Bani an-Nadhir dan Bani Quraidhah. Dengan kata lain, masalah sparatisme ini merupakan qadhiyah mashiriyyah, yang bisa diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati.
Meski demikian, Islam juga mengajarkan bahwa selain masalah ini harus didudukkan sebagai qadhiyah mashiriyah, masalah ini tidak harus selalu didekati dengan pendekatan militer. Kalau pun harus ditempuh pendekatan militer, maka ini merupakan alternatif terakhir setelah upaya-upaya persuasi tidak berhasil.
Dengan kata lain, pendekatan yang pertama kali harus dilakukan adalah pendekatan politik. Dengan cara menjelaskan hukum larangan memisahkan diri atau melakukan aksi separatisme, khususnya kepada kaum Muslim, serta konsekuensi sanksi yang akan mereka hadapi jika tindakan tersebut mereka lakukan. Sedangkan kepada kaum non-Muslim, yang nota bene adalah ahli dzimmah, maka bisa dijelaskan konsekuensi yang akan mereka terima. Mulai dari hilangnya dzimmah, pengusiran hingga diperangi.
Selain penjelasan tersebut, kepada mereka –baik Muslim maupun non-Muslim—harus dibongkar rencana busuk di belakang gerakan separatisme, termasuk kepentingan kaum Kafir penjajah yang hendak menjajah mereka disertai dengan berbagai bukti dan sejarah. Kasus lepasnya wilayah Balkan dan Syam dari genggaman Khilafah Utsmaniyah, di masa lalu; lepasnya Timor Leste dari Indonesia; dan yang terbaru lepasnya Sudan Selatan dari Sudan adalah bukti-bukti nyata dimanfaatkannya jaringan kaum Kristen, khususnya misionaris, untuk menggalang aksi separatisme. Di balik semuanya itu, jelas ada kepentingan negara-negara Kafir penjajah untuk mengangkangi wilayah-wilayah tersebut.
Balkan dan Syam, setelah lepas dari Khilafah Ustmaniyah menjadi negara-negara kecil yang lemah. Demikian juga Timor Leste, setelah lepas dari Indonesia, juga menjadi negara kecil yang lemah. Hal yang sama juga dialami Sudan Selatan. Dengan kondisi seperti itu, maka sangat mudah bagi negara-negara Kafir penjajah untuk menjajah negara-negara kecil tersebut dan mereka pun tidak mampu membebaskan diri dari penjajahan negara-negara kolonialis itu. Jika Papua, Ambon atau yang lain melakukan hal yang sama, maka nasib yang sama pun siap mengintai mereka.
Namun, ironisnya, belum apa-apa, Menhan, Purnomo Yusgiantoro, dengan tegas menyatakan agar tidak menggunakan pendekatan kepada kelompok OPM di Papua dengan pendekatan, "NKRI harga mati". Padahal, jargon "NKRI harga mati" selalu digunakan untuk menyerang perjuangan untuk menegakkan syariah. Ini artinya, bahwa ada upaya sistematis untuk memfasilitasi gerakan separatisme dan membiarkannya berkembang. Maka, tidak lama setelah ini, Papua pun akan lepas dari pangkuan Indonesia. Para penguasa negeri Muslim ini pun harus siap-siap mempertanggungjawabkan kebijakan mereka di hadapan umat Islam, dan lebih dari itu, mereka telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.[]
Sumber : http://mediaumat.com/
0 Response to "Menjaga Persatuan dan Kesatuan Wilayah Islam Harga Mati"
Post a Comment