PERNYATAAN KEPALA BIN, BUKTI PEMERINTAH REPRESIF
Semenjak rangkaian aksi bela Islam daya tawar politik muslim semakin kuat, berbagai upaya dilakukan untuk menghadang bangkitnya politik Islam dimulai dari penggembosan dan penghadangan peserta aksi bela Islam, kemudian tuduhan makar, kriminalisasi ulama, kini pemerintah berupaya untuk membubarkan ormas islam dengan tuduhan anti pancasila, UUD’45 dan tuduhan menimbulkan keresahan masyarakat.
Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Budi Gunawan menyatakan “Bahwa tindakan pembubaran HTI dibenarkan secara hukum dengan pertimbangan atas dasar Kepentingan Nasional, karena eksistensi HTI tidak berlandasan dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD'45 sehingga menimbulkan keresahan dalam masyaraka. Secara universal, pertimbangan Kepentingan Nasional, maka dalam Hukum Pidana dengan Hukum Tata Negara selalu berlaku adigium bahwa "Aturan Hukum Darurat untuk Kondisi yang Darura Maka prinsip "Clear & Present Danger" (situasi yang jelas akan suatu hal berbahaya dan bersifat memaksa) dapat diterapkan, sehingga Negara dapat membubarkan HTI demi menjaga keutuhan bangsa dan NKRI,”. (https://news.detik.com/berita/d-3497043/kepala-bin-bicara-clear-and-present-danger-dalam-pembubaran-hti)
Untuk menanggapi pernyataan kepala BIN, saya sebagai orang hukum akan menggunakan pendekatan hukum.
Alasan Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Budi Gunawan yang membolehkan pemerintah menetapkan keadaan darurat untuk membubarkan HTI, alasan yang tidak bisa dibenarkan menurut hukum. Aturan hukum yang dijadikan payung penerapan keadaan darurat untuk wilayah Indonesia ada empat, yaitu peraturan SOB 1939, UU Nomor 6 Tahun 1946, UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Perpu Nomor 23 Tahun 1959. Peraturan SOB 1939 membedakan tingkat bahaya menjadi dua, yaitu dalam keadaan SvO dan SvB. UU Nomor 6 Tahun 1946 tidak mengatur tingkat keadaan bahaya.
UU Nomor 74 Tahun 1957 membedakan keadaan bahaya menjadi dua, yaitu keadaan darurat dan keadaan perang. Sedangkan Perpu Nomor 23 Tahun 1959 membedakan tingkat keadaan bahaya menjadi tiga, yaitu tingkat darurat sipil, darurat militer dan darurat perang.
Keadaan darurat dapat diberlakukan sewaktu-waktu ia dibutuhkan sesuai dengan doktrin “necessity”, yaitu apabila timbul kebutuhan untuk itu. Hal tersebutlah yang terkandung dalam pasal 12 UUD 1945 sebagai “keadaan bahaya” dan hakikat substansi ‘kegentingan yang memaksa’ yang dirumuskan dalam pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Apabila kebutuhan (necessity) yang dimaksud tersebut memang ada disebabkan oleh kejadian atau potensi kejadian yang bersifat luar biasa, Kepala Negara yang dalam hal ini menurut ketentuan UUD 1945 adalah Presiden dapat dan memang harus bertindak untuk mencegah dan mengatasi kondisi yang tidak normal itu.
Namun demikian, keadaan bahaya atau keadaan darurat itu sendiri harus secara resmi dan terbuka dideklarasikan atau diproklamasikan, dan pemberlakuannya itu harus diberitahukan secara resmi pula kepada semua pihak yang terkait dan berkepent ingan. Dengan dilakukannya deklarasi atau proklamasi, mulailah berlaku suatu rezim hukum baru, yaitu rezim hukum darurat yang menggantikan rezim hukum sebelumnya, yaitu rezim hukum biasa.
Penetapan berlakunya keadaan darurat itu harus dilakukan oleh Presiden sebagai kepala Negara sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, yaitu Perpu No. 23 Tahun 1959. Kekuasaan Presiden yang cukup besar berdasarkan UUD 1945 itu berpengaruh terhadap pendelegasian kekuasaan luar biasa pada Presiden dalam Perpu No. 23 Tahun 1959. Tanggungjawab Pernyataan keadaan bahaya ada pada Presiden. Sebagai konstitusi yang berciri subjective staatsnoodrecht dan subjective noodtoesatandstheorie hakim tidak dapat menguji pernyataan Keadaan bahaya yang dilakukan oleh Presiden. Menurut Perpu Nomor 23 Tahun 1959 posisi penguasa perang tinggi tidak lagi dibawah KSAD melainkan di tangan Presiden.
Penetapan keadaan bahaya tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk Keputusan Presiden, apabila isinya hanya bersifat ‘beschikking’ yang mengandung norma konkret dan Individual. Jika isinya mengandung norma penetapan serta sekaligus norma pengaturan, maka bentuk hukum yang dapat dipilih berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Namun, menurut ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No.10 Tahun 2004, pernyataan keadaan bahaya dimaksud dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden.
Namun sebelum pemerintah mengumumkan negara dalam keaadan darurat, unsur-unsur hukum negara dalam keadaan darurat harus terpenuhi yaitu adanya unsur kekerasan atau anarkis yang dilakukan oleh ormas yang akan dibubarkan tersebut. Sementara jika pemerintah menerapkan darurat sipil dengan alasan menimbulkan kerusuhan yang menyebabkan konflik sosial (UU No.7 Tahun 2012 Tentang Penangan Konflik Sosial) tetap tidak bisa diterapkan karena harus dilihat apakah ada unsur kekerasan atau anarkis secara missal atau menyebar seluruh Indonesia dalam penyampaian gagasannya.
Dalam kasus HTI, maka seluruh landasan hukum pemerintah untuk menerapkan negara dalam keaadaan darurat tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan kuat. Justru pada faktanya HTI lah yang sering menjadi korban kekerasan, korban anarkis dari ormas lain. Jika ingin menerapkan hukum, maka tangkap dan bubarkan lah ormas yang anarkis atau kekerasan dalam menjalankan organisasinya.
PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang)
Keadaan bahaya atau darurat harus dapat didefinisikan. Pemberian cakupan ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. Karena dalam keadaan tersebut negara dapat melakukan tindakan apapun termasuk membatasi hak warga negara.
Di Indonesia, perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai dasar dari tidakan pemerintah untuk membentuk Perppu dalam rangka penyelamatan kepentingan bangsa dan negara, dapat ditemukan landasan hukumnya dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 menegaskan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 22 menegaskan bahwa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka dapat diketahui adanya 2 (dua) kategori dari adanya keadaan yang tidak biasanya dari negara dan keadaan darurat negara (state of emergency) yakni Pertama, keadaan bahaya, dan Kedua, hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua kategori tersebut mempunyai makna yang sama sebagai keadaan darurat negara (state of emergency), namun keduanya mempunyai perbedaan pada penekanannya yakni istilah keadaan bahaya lebih menekankan pada strukturnya (faktor eksternal) sedangkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa lebih menekankan pada isinya (faktor internal).
Penggunaan kedua pasal tersebut sangat berbeda yakni Pasal 12 UUD 1945 lebih berfokus pada kewenangan Presiden selaku kepala negara untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari gangguan luar negara, sedangkan penggunaan Pasal 22 UUD 1945 berada pada ranah (domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu.
Dengan demikian lebih menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum yang bersifat mendesak. Itulah sebabnya maka apabila dicermati ketentuan UUD 1945 maka terdapat 3 (tiga) unsur penting secara bersama-sama (kumulatif) yang membentuk pengertian keadaan darurat bagi negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu: pertama, unsur adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat); kedua, unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga, unsur adanya keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.
Dalam praktiknya di Indonesia berbagai varian dibentuknya Perppu tidak memenuhi unsur-unsur keadaan darurat negara (state of emergency) secara kumulatif sebagaimana dikemukakan di atas sehingga dipertanyakan esensinya apakah pembentukan Perppu yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut secara bersamaan benar-benar sesuai dengan amanah UUD 1945 atau untuk kepentingan bangsa dan negara atau hanya untuk kepentingan Presiden dan kroninya atau untuk kepentingan sekelompok golongan saja.
Hal pembentukan Perppu dengan tujuan untuk kepentingan Presiden dan kroninya atau hanya untuk kepentingan segelintir golongan saja memang bisa terjadi, sebab dalam ketentuan UUD 1945 perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai suatu keadaan darurat negara (state of emergency) tidak ditemukan landasan hukumnya yang tepat. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara konstitusional berkenaan hak Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, apakah yang dimaksud dengan keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa dan dalam keadaan bagaimana sehingga suatu keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa dapat dikualifisir sebagai keadaan darurat negara, hal ini tidak ditemukan dalam rumusan pasal-pasal dalam UUD 1945.
REZIM REFPRESIF
Dengan alasan negara dalam keadaan darurat, maka pemerintah tidak perlu melalui mekanisme pengadilan untuk membubarkan organisasi masyarakat (ormas) termasuk HTI. Karena jika negara dalam keadaan darurat, pengadilan tidak memiliki kewenangan sedikitpun. Terlebih lagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak berwenang dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara terkait penetapan negara dalam keadaan darurat oleh pemerintah, dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
Harus ada tolok ukur yang jelas untuk memahami keadaan mendesak untuk kepentingan umum sebagaimana yang termaktub dalam huruf (sub) b Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN sehingga diinterpretasikan oleh PTUN untuk dinyatakan tidak berwenang untuk disengketakan.
Ketentuan pasal 49 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004 sebagai Perubahan Pertama Jo UU No. 51 Tahun 2009 sebagai Perubahan Kedua tentang PTUN secara normatif juga sudah sangat jelas membatasi kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu di mana keputusan tersebut dikeluarkan dalam “waktu perang atau keadaan darurat” dan “keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Rumusan “kepentingan umum” menurut Pasal 49 huruf b UU No. 5 Tahun 1986 beserta penjelasannya terasa masih terlalu abstrak.
Penyelenggaraan kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, di samping negara lazimnya berada dalam keadaan normal (ordinary condition), pada praktiknya terkadang timbul keadaan yang tidak normal atau darurat (emergency condition). Berangkat atas asumsi tersebut, bisa saja pemerintah selaku penguasa atau badan/pejabat tata usaha negara menggunakan kekuasaannya untuk menerbitkan peraturan maupun kebijakan tertentu yang muatannya sarat dengan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara maupun Hak Asasi Manusia (HAM) dengan menggunakan dalih “negara berada dalam keadaan darurat/bahaya” dan “keadaan mendesak untuk kepentingan umum” yang sebenarnya hanya dimaksudkan untuk memperkokoh rezim kekuasaannya.
*Chandra Purna Irawan,MH.
Ketua Eksekutif Nasional
Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI)
Sumber : fb Chandra Purna Irawan
0 Response to "PERNYATAAN KEPALA BIN, BUKTI PEMERINTAH REPRESIF"
Post a Comment