Kegagalan Pendidikan Sekular
‘Sebenarnya jika dunia modern begitu peduli dengan pendidikan, itu bukan karena fakta bahwa ia telah membuat penemuan-penemuan luar biasa di bidang tersebut. Itu seperti yang dikatakan Chesterton karena manusia modern telah kehilangan arahnya; dia tidak tahu di mana dia atau kemana ia akan pergi.’ (D dan I. Gallagher (eds), ‘Filsafat dan Pendidikan’ dalam The Education of Man, hlm. 41).
Sistem pendidikan Barat telah lama dianggap sebagai standar emas bagi semua bangsa lain mengukur diri.
Namun, lembaga-lembaga Barat sesungguhnya tidak mampu menyajikan sebuah landasan pemikiran yang stabil bagi sandaran sistem pendidikan mereka. Banyak filosof telah menggambarkan kriteria berbeda-beda di balik tujuan pendidikan. Tanpa disadari, hal demikian telah mengungkapkan secara fundamental kecacatan kriteria tersebut tanpa lintasan yang jelas menuju kebenaran definitif.
Kelemahan paling serius dalam pendidikan modern adalah ketidakpastian tentang tujuannya. Sepintas sejarah mengingatkan kita bahwa sistem pendidikan yang paling penting dan efektif telah menggambarkan tujuan mereka cukup jelas dalam hal kualitas pribadi dan situasi sosial. Sebaliknya, pendidikan di negara-negara demokrasi liberal menyedihkan karena samar-samar dalam tujuannya (Galnon, 1950)
Pemahaman filosofis di balik tujuan pendidikan sangat bervariasi. Dalam bukunya The Philosophy of Education, T.W. Moore menyorot pandangan yang berkaitan erat dengan dilema membingungkan Aristoteles; di antara para filosof pendidikan, ada keragaman pendapat cukup besar tentang apa sebenarnya tugas mereka adalah atau bagaimana seharusnya.
Dalam urutan kronologis, kita bisa melihat perbedaan sebagai berikut:
- Plato memegang keyakinan bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menghasilkan anggota elit masyarakat yang akan mengambil posisi dari pengaruh dan kekuasaan.
- John Locke memegang gagasan bahwa manusia tidak memiliki ide bawaan logika atau keyakinan.
- Jean-Jacques Rousseau lebih percaya gagasan bahwa anak-anak harus dibiarkan untuk mengembangkan diri ‘sesuai dengan sifat’.
- John Dewey memegang keyakinan bahwa masyarakat akan membentuk tujuannya sendiri dengan menggunakan pendidikan sebagai alatnya.
Pendidikan itu sendiri adalah menanti, sebuah penantian/penundaan; kita diajari bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang bagus. Mengapa? Supaya kita mendapat pekerjaan yang bagus. Apakah pekerjaan yang bagus itu? Salah satunya yang memberi upah bagus. Oh. Ini saja? Semua penderitaan ini hanya agar kita bisa mendapatkan banyak uang, yang bahkan jika kita kelola, bukankah tidak akan memecahkan permasalahan-permasalahan kita? Ini adalah ide terbatas yang tragis mengenai apa itu hidup (Tom Hodgkinson).
Pendidikan di Negara-negara Kapitalis Barat
- Finlandia.
Finlandia layak diakui untuk reformasi mendasar dan menyeluruh dalam sistem pendidikan, yang telah terbukti secara konsisten menempati peringkat teratas PISA (Programme for International Student Assessment). Namun, apa yang sering salah dipahami mengenai Finlandia dan standar emas pendidikan mereka di antaranya: Pertama, guru ditempatkan sebagai kesuksesan tunggal di belakang suatu pencapaian. Sistem pendidikan Finlandia menempatkan kepentingan luar biasa pada guru, dengan hanya 11% pelamar yang diterima dalam profesi ini. Kedua, tingkat bunuh diri. Tingkat bunuh diri anak-anak muda di Finlandia tergolong tinggi berdasarkan standar Eropa. Ketiga, terlalu fokus pada papan-papan angka.
Maarit Korhonen dalam bukunya, Wake Up School!, mengkritik sistem pendidikan Finlandia yang dia sebut ‘rabun dan kuno’ (myopic and old fashioned) karena hanya fokus pada grafik-grafik PISA, yakni fokus pada literasi, namun tidak dengan aspek-aspek lainnya yang dapat mengembangkan para siswa secara holistik.
- Inggris.
Terdapat banyak catatan siswa sekolah dasar yang mulai menderita depresi dan kegelisahan sebagai hasil dari ketatnya dan tekanan lingkungan menghadapi ujian 11-plus. Para orangtua mulai menanyakan apakah sistem pendidikan membuat anak-anak mereka gagal dan apakah sistem pendidikan menundukkan anak-anak mereka.
Kompetisi merupakan karakter pada banyak sistem pendidikan. Di Inggris juga sama. Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan kompetisi di negara-negara seperti Korea Selatan, tingkat batasan ujian GCSE dan Level-A terstandarisasi meningkat secara gradual pada siswa yang mendapatkan pencapaian diatas rata-rata. Dampaknya, siswa SEN dan EAL tidak dapat diprediksi ketika diadu dengan kompetitornya. Siswa juga rajin mencari tempat universitas mereka, menyadari utang £ 40.000 menunggu mereka setelah mereka lulus.
Kenyataan ini pasti berdampak siswa di seluruh level: ‘satu dari sepuluh antara usia lima dan enam belas menderita gangguan kesehatan mental; ribuan anak-anak dan orang muda menderita depresi berat.’ Banyak remaja telah menemukan diri mereka dengan masalah mereka dan merasa tidak mampu untuk mengikuti siswa yang unggul dalam hasil dan prestasi akademik umum.
- Australia.
Di Negara ini biaya pendidikan mahal akibat privatisasi pendidikan. Pada 2015, sekolah-sekolah Australia jauh meningkatkan biaya sebesar 4,9% rata-rata biaya sekolah swasta persiswa untuk $ 22.280 pertahun.
Selain itu, survei Persatuan Mahasiswa Nasional menemukan bahwa 25% mahasiswa universitas di Australia melaporkan pengalaman seksual yang tidak diinginkan. Satu dari unitersitas tertinggi, Universitas Sydney, menerima 17 pengaduan formal atas pemerkosaan, percobaan pemerkosaan dan insiden tidak senonoh lainnya yang melibatkan mahasiswa dalam rentang waktu 5 tahun.
Hal tersebut adalah masalah sosial riil yang mempengaruhi sektor pendidikan. Bagaimanapun, ini adalah realita menyedihkan bahwa pemerintah Barat gagal menerapkan program untuk menyelesaikan masalah tersebut.
- Amerika Serikat.
Tingkat bunuh diri dikalangan remaja, usia 15-24, telah meningkat sebanyak tiga kali lipat sejak tahun 1950-an. Saat ini bunuh diri menjadi penyebab kematian paling umum di kalangan mahasiswa.
Kesehatan emosional mahasiswa Amerika telah menurun sepanjang 25 tahun terakhir. Pada tahun 1985 ada 64% mahasiswa yang kesehatan mentalnya di atas rata-rata. Namun pada 2010, angka itu tersisa hanya 52%. Terdapat 5 faktor yang memproduksi stres di kampus: persaingan ketat, biaya kuliah, tingginya grade masuk universitas, kejahatan di kampus dan faktor ekonomi.
Sebanyak 6% dari mahasiswa sarjana dan 4% dari mahasiswa pascasarjana di Perguruan Tinggi dengan durasi 4 tahun “serius mempertimbangkan untuk bunuh diri” beberapa tahun belakangan dan hampir setengah dari masing-masing kelompok tidak memberitahu siapapun. (Sumber:http://www.collegedegre research .net/student-suicides/)
Pendidikan di Negara-negara Kapitalis Timur
- Korea Selatan.
Sekilas, sistem pendidikan Korea Selatan memberikan bukti sebuah ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) yang menghasilkan keberhasilan ekonomi luar biasa. Angka melek huruf mencapai 97,9% (99,2% pada laki-laki dan 96,6% pada perempuan). Jumlah tertinggi lulusan sains per 100.000 karyawan berusia 25-34 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Namun demikian, “Kecemasan anak-anak karena merasa terus-menerus diuji, takut gagal, takut mendapat hukuman dan aib, secara tajam mengurangi kemampuan mereka dalam memahami dan mengingat; bahkan justru mendorong mereka menjauh dari materi yang dipelajari ke strategi membodohi guru untuk berpikir bahwa mereka tahu atas apa-apa yang sebenarnya mereka tidak tahu.” (John Holt).
Bahkan dengan statistik yang mengesankan tersebut, laporan nasional Kementerian Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia mengidentifikasi tiga kegagalan utama dari sistem pendidikan Korea Selatan: Pertama, persaingan yang sangat panas untuk masuk universitas. Ketatnya persaingan menjadikan tujuan pendidikan tak lagi sebagai sarana untuk pengembangan dan kreativitas, namun lebih sebagai sarana masuk universitas top. “Grade” telah menjadi tujuan utama para siswa dan orangtua. Kedua, biaya pendidikan swasta yang sangat mahal. Keluarga siswa sekolah menghabiskan $11,373 juta pada 2002 saja. Ini setara dengan 2,3% GDP Korea dan 55% dari anggaran pendidikan. Ketiga, manajemen akademik yang kaku. “Sebelum Korea Selatan dapat dilihat sebagai model (sistem pendidikan) untuk abad ke-21, ia harus mengakhiri sistem feodal kuno dalam pendidikan…” (Se-Woong Koo, Dosen Studi Korea di Universitas Yale).
- Jepang.
Jepang memimpin dunia dalam hal literasi (melek huruf) dengan angka 99%. Meski begitu, tingkat bunuh diri di Jepang adalah yang tertinggi! Hal ini terjadi akibat tekanan yang dihadapi siswa di sekolah. Namun, penjelasan yang lebih mungkin terletak pada epidemiknya intimidasi yang meluas di sekolah-sekolah Jepang.
Para siswa awal tahun 1970-an mulai memberontak terhadap sistem. Beberapa dari mereka mulai menolak untuk menghadiri sekolah. Beberapa lainnya memulai pola kekerasan terhadap sesama siswa. Yang lain mulai menyerang guru mereka. Yang lainnya lagi mulai menghancurkan properti sekolah (An Insider’s Guide to the Real Japan, 2005).
Permasalahan utama yang dihadapi sistem pendidikan Jepang: Pertama, (budaya) membolos. Dengan pendekatan sederhana, didapat sekitar 150.000 anak-anak berusia 6-17 tahun yang secara permanen membolos dari sekolah-sekolah di Jepang (John Nathan). Kedua, masalah kedisiplinan. Dalam The Japanese Self in Cultural Logic, Takie Sugiyama Lebra memaparkan masalah kedisiplinan yang meluas di sekolah-sekolah Jepang. Aaron Joseph, asisten guru bahasa, menyampaikan bahwa kedisiplinan siswa bukan urusan para guru. Ketiga, bullying. Sepertiga dari siswa sekolah-sekolah umum menjadi korban bullying dalam berbagai bentuknya. Keempat, kontrovesi teksbook/buku pelajaran (Japan Unbound: A Volatile Nation’s Quest for Pride and Purpose karya John Nathan). Kelima, kekerasan. Di sekolah-sekolah menengah, kekerasan umum secara stabil meningkat dari 7.5% pada tahun 1986 menjadi 22% pada 1996.
- Singapura.
Problem pendidikan di Singapura antara lain: Pertama, 12,5 persen anak usia SD di Singapura menderita depresi dan kecemasan. Kedua, jumlah anak yang pergi ke psikiater meningkat 16 persen mencapai 3126 pada tahun 2010. Ketiga, jumlah anak dirawat karena “kecenderungan agresif, bunuh diri atau halusinasi “ melonjak 35 persen. Keempat, satu dari tiga murid kadang berpikir bahwa mereka tidak layak hidup karena takut ujian.
Kiasu adalah istilah khas orang Singapura yang maknanya “tidak mau kalah” atau “tidak mau rugi”. Budaya kiasu yang khas ini dalam dunia pendidikan Singapura sangat merasuk pada peran orangtua yang sangat obsesif pada prestasi anak mereka. Tak aneh jika kemudian parentocracy diidentifikasi sebagai salah satu masalah dalam dunia pendidikan Singapura. Faktor kiasu parentocracy ini secara langsung juga telah meningkatkan angka depresi anak-anak Singapura.
Teknologi juga telah membantu mendorong kiasu-isme orangtua dengan kiasuparents.com; sebuah platform untuk ‘prihatin’ orangtua untuk mengajukan pertanyaan mengenai pengasuhan dan pendidikan di Singapura; juga menyediakan cara lain bagi orang tua untuk melacak potensi saingan anak-anak mereka dan memahami bagaimana mengungguli mereka (ChiefKiasu, 2011).
- Hongkong.
South China Morning Post memuat laporan khusus tentang fenomena bunuh diri di kalangan pelajar Hongkong. Insiden terbaru kembali terjadi baru saja di pertengahan Februari 2017 ini. Seorang siswa laki-laki meninggal setelah melompat dari atap sebuah gedung apartemen di Ma On Shan. Ia merupakan yang ketiga dari pelajar Hongkong yang mati bunuh diri dalam waktu delapan hari selama liburan Tahun Baru Imlek . Hong Kong sampai membentuk Komite Pencegahan Bunuh diri Pelajar karena serentetan bunuh diri mahasiswa tahun 2016 serta lebih dari 70 kasus bunuh diri siswa sejak 2013.
Sebagian besar menyalahkan sistem pendidikan tekanan tinggi di Hongkong yang terlalu banyak fokus pada penilaian skor dan angka sehingga memberi tekanan pada siswa. Para ahli berpendapat, isu bunuh diri remaja adalah kompleks, dan bahwa benih dari masalah yang sedang ditaburkan jauh lebih awal dari yang mereka menyadari. Seorang siswa sekolah internasional Chan Yu Ling bahkan mengatakan sekolah seperti penjaga bagi dirinya, “Aku dilarang bergerak, minum air, makan, pergi ke WC di ruang kelas. Aku bahkan tak bisa bergerak waktu istirahat dan hanya bisa tidur tengah malam setelah semua PR selesai.”
Khatimah
Pendidikan yang telah dijauhkan dari agama serta dibisniskan ala Kapitalis jelas tidak akan pernah mampu membangun, memajukan dan meningkatkan martabat kehidupan masyarakat, namun yang terjadi sistem pendidikan malah menjadi produsen keuntungan bagi bisnis. Selain itu, sistem pendidikan yang berfokus hanya pada tujuan individualistis hanya mendidik individu agar punya kemampuan mencari pekerjaan untuk kesuksesan pribadi, namun miskin akan moral dan integritas akhlak – membuat banyak generasi muda rentan terjebak pada persoalan mental dan penyakit sosial seperti narkoba, pergaulan bebas, dan lainnya. Kondisi ini jelas sangat jauh dari kemajuan masyarakat yang bermartabat. []
Sumber : http://hizb-indonesia.info/
0 Response to "Kegagalan Pendidikan Sekular"
Post a Comment