Ismail Yusanto: Dakwah Itu Kewajiban, Tidak Ada Hubungannya Dengan Status Badan Hukum
Juru Bicara HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Ismail Yusanto dalam acara “Refleksi 2019, Prediksi 2020” yang diselenggarakan Media Umat
Bagai kelahiran seorang anak tanpa pengakuan oleh ayah, tak berarti tanda berakhirnya kehidupan sang anak di dunia. Meski menjerit, ibu pertiwi tetap melahirkan, sekalipun hadirnya seorang anak di muka bumi tidak dapat ditunjukan dalam secarik kertas bukti kelahiran. Demikian sebuah organisasi yang tak pernah mati pergerakannya walaupun berkorban menjadi taruhannya. Karena HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) memahami, Risallah Islam yang Nabi Muhammad ajarkan tetap harus disiarkan ke seluruh penjuru negri.
Telah dua tahun lebih dibubarkan dan dicabut status badan hukumnya oleh pemerintah dalam Perppu No. 2/2017 tentang Pembubaran Ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila, bagi HTI, hal tersebut bukanlah akhir perjalanan ormas yang bergerak selama 37 tahun di Indonesia. Dibalik itu, HTI semakin gencar berkoar, terlebih stempel radikalisme membuat pemerintah sendiri geram atas manuver HTI yang makin menjadi. Strategi pemerintah dalam mengembangkan narasi radikalisme yang ditujukan pada ormas Islam garis keras, salah satunya HTI, justru menjadikan peluang dakwah bagi HTI untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam yang tauhid dan fundamental. “Seperti Akte kelahiran, jika diambil, apakah kemudian anda akan mati?”, tegas Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto kepada tim Swarna di bilangan Jakarta Pusat, (13/1).
Semata-mata untuk dakwah, tidak ada alasan bagi HTI untuk menghentikannya. Upaya membangun Khilafah sebagai satu-satunya solusi atas berbagai konflik dan polemik bangsa, menjadi potret kekuasaan Islam yang dahulu diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak sekadar pengetahuan, namun sejarah tersebut dijadikan suri tauladan yang sepatutnya diamalkan oleh setiap umat Islam, khususnya di Indonesia. Bagi HTI, sejatinya umat muslim mewujudkan konsep agama Islam secara kaffah sesuai dengan nilai dan ajarannya tanpa khawatir dan paranoid sehingga ajaran Islam disembunyikan demi menghindari implementasi konsep Khilafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Khilafah itu ajaran islam, secara materi pendidikan sah dan resmi diterbitkan oleh Kementrian Agama RI. Khilafah dalam bentuk negara itu ajaran Islam. Kalau kita muslim, meyakini bahwa ajaran Islam itu baik, kenapa disembunyikan dan dikhawatirkan?”, ujar sang Jubir lulusan Fakultas Teknik, UGM tahun 1988 ini.
Resahnya pemerintah terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras, menimbulkan Islamophobia (sifat ketakutan terhadap ajaran Islam) yang berawal dari narasi-narasi politik secara diskriminatif menyudutkan organisasi Islam dengan jargon radikalisme dan ekstremisme. Ismail Yusanto menanggapi, bahwa hal itu bagian dari kepentingan politik rezim yang panik menghadapi kekuatan umat Islam. Salah satunya tentang kejadian 212 yang masif dan terorganisir, “212 itu hadir karena pembelaan terhadap dorongan agama”, ujar sang ustad.
Islamophobia tak hanya terjadi dalam pergerakan yang terintegrasi, namun menjamah pada kultur dan adab yang bertentangan dengan tradisi Islam. Ismail mengatakan rasa sensitif terhadap Islam didasari paham ideologi politik sekularisme yakni sekularisme radikal, yang menolak segala sesuatu berkaitan dengan ajaran Islam. “Dipisahnya ruangan antara laki-laki dan perempuan dalam sarana umum yang ada di kehidupan sehari-hari, dianggap sebagai wajah-wajah radikal”, ucap Ismail dengan ekspresi heran atas skeptisme dan paradigma yang terjadi.
Untuk itu, dakwah terus berjalan. Meskipun pelik, bagi HTI, menjadikan konsep Khilafah sebagai asas negara bukanlah hal yang mustahil. Terlebih pertentangan dan kontra demi menegakkan Khilafah dihalangi oleh sesama umat muslim sendiri yang tidak mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. “Khilafah itu konsepnya Allah, kalau ditentang, berarti menentang Allah. Jangan berani kamu menentang Allah”, geliat sang ustad dengan tensi bicaranya yang meninggi.
“ini yang mesti dibangun mindsetnya. Kalau boleh ada negara sosialis/komunis, kenapa tidak boleh negara Islam?. Ajaran Islam selalu relevan untuk setiap waktu dan tempatnya.”, yakin Ismail.
Ia juga menyampaikan, negara tidak mampu seutuhnya fokus pada permasalahan bangsa yang terjadi saat ini. Isu radikalisme yang selalu dikembangkan, justru menampik krisis moral dan ancaman stabilitas negara yang secara nyata mengganggu ketertiban sosial bermasyarakat.
“Narkoba dan separatisme. Mereka tidak pernah disebut sebagai radikal dan mengancam. Separatisme ingin memisahkan diri. Sementara kita (HTI) yang hanya ingin dakwah, menulis, membuat majalah itu disebut radikal. Mana buktinya bila radikalisme menimbulkan kerusakan dimuka bumi ini?”, pungkas sang ustad.
Keberimanan umat Islam terhadap agamanya tidak hanya sebatas Iqroorun Bil Lisaani (Ikrar dengan lisan) dan Tashdiiqun Bil Qolbi(Menyatakan benar di dalam Qolbu), namun seutuhnya iman dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan, yakni Amalun Bil Arkaani (Iman secara perbuatan) sebagai bentuk tanggungjawab seorang muslim terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang sesuai pada fitrah jalan kebenaran sejati-Nya (Shirathal Mustaqim).
Penulis: Fauziah Rivanda
0 Response to "Ismail Yusanto: Dakwah Itu Kewajiban, Tidak Ada Hubungannya Dengan Status Badan Hukum"
Post a Comment