MENEGUHKAN PERAN ULAMA SEBAGAI MITRA PENGUASA
Buletin Kaffah No. 170 (18 Rabiul Akhir 1442 H-4 Desember 2020 M)
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin pernah mengingatkan bahwa tujuan dari MUI adalah melayani umat (khadimul ummah) dan menjadi mitra pemerintah (shadiqul hukumah). Ia lalu menegaskan bahwa ke depan kemitraan antara MUI dan Pemerintah harus diperkuat (Gatra.com, 27/7/2019).
Pengganti KH Ma’ruf Amin, yakni KH Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI yang baru terpilih (periode 2020-2025), juga menyatakan hal senada. Dalam pidatonya pada Munas X MUI, Jumat (27/11/2020), Rais Aam PBNU ini antara lain menyatakan bahwa MUI memiliki tanggung jawab besar kepada umat sekaligus sebagai mitra Pemerintah (Tribunnews.com, 27/11/2020).
Sebagai mitra Pemerintah, ulama tentu bukanlah ‘stempel’ penguasa. Ulama justru harus berperan sebagai pengawal sekaligus pengoreksi penguasa. Tujuannya tentu agar penguasa dan kekuasaannya selalu berada dalam koridor syariah Islam. Tidak menyimpang sedikitpun dari ketentuan syariah Islam.
Hakikat Ulama
Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sungguh yang takut kepada Allah di kalangan para hamba-Nya hanyalah para ulama (TQS Fathir [35]: 28).
Ayat ini secara kasatmata menyebutkan kedudukan ulama yang begitu istimewa di antara para hamba Allah SWT. Yang membuat mereka istimewa adalah rasa takut mereka kepada Allah SWT. Rasa takut kepada Allah SWT itulah yang menjadi sifat yang paling menonjol di kalangan para ulama. Bukan sekadar keluasan dan kedalaman ilmu mereka.
Oleh karena itu, ulama yang sebenarnya akan selalu berada di garda terdepan membela agama Allah, menjaga kemurnian Islam dan ajaran-Nya, mendidik masyarakat dengan syariah-Nya, meluruskan yang menyimpang dari petunjuk-Nya dan berteriak lantang terhadap berbagai kezaliman. Tanpa ada rasa takut sedikit pun akan risikonya.
Ulama adalah pewaris para nabi, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
Sungguh para ulama itu adalah pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Para ulama pewaris para nabi tentu adalah para hamba Allah SWT yang beriman, menguasai ilmu syariah secara mendalam dan memiliki pengabdian yang tinggi semata-mata karena mencari keridhaan Allah SWT; bukan keridhaan manusia. Dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq. Mereka berjiwa istiqamah dan konsisten terhadap kebenaran. Mereka mengabdikan seluruh hidup mereka untuk menegakkan agama Allah SWT.
Para ulama pewaris para nabi tidak akan mendiamkan apalagi mendukung para pelaku kezaliman, khususnya penguasa zalim. Tegas sekali Allah SWT berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang berbuat zalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api neraka (TQS Hud [11]: 113).
Kata lâ tarkanû, menurut Abu ‘Aliyah, berarti: janganlah kalian meridhai perbuatan-perbuatan (zalim) mereka; sedangkan menurut Ikrimah berarti: janganlah kalian menaati mereka (Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, 4/204).
Ulama Wajib Mengawal Kekuasaan
Di antara peran penting ulama pewaris para nabi adalah memastikan penguasa menjalankan kekuasaannya sesuai dengan syariah Islam. Ketika penguasa menyimpang, ulama harus tampil ke depan meluruskan penyimpangan mereka. Ulama tidak boleh bersikap lemah. Ulama harus terus melakukan koreksi hingga penguasa tunduk dan berjalan kembali di atas syariah Islam.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah menggariskan ketentuan dan adab ulama di hadapan para penguasa. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, memberikan loyalitas hanya pada Islam. Tidak pernah gentar menghadapi kezaliman penguasa. Ulama selalu memegang teguh Islam meskipun harus tersungkur mati di dalamnya. Muadz bin Jabal ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
أَلاَ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ فَلاَ تُفَارِقُوْا الْكِتَابَ، أَلاَ إِنَّهُ سَيَكُوْنُ أَمَرَاءُ يَقْضُوْنَ لَكُمْ، فَإِنْ أَطَعْتُمُوْهُمْ أَضَلُّوْكُمْ وَإِنْ عَصَيْتُمُوْهُمْ قَتَلُوْكُمْ، قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَكَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ: كَمَا صَنَعَ أَصْحَابُ عِيْسَى ابْنِ مَرْيَمْ، نُشِرُوْا بِالْمَنَاشِيْرِ وَحَمِلُوْا عَلَى الْخَشَبِ مَوْتٌ فِي طَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ حَيَاةٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Perhatikanlah, sungguh al-Quran dan penguasa akan berpisah. Karena itu janganlah kalian memisahkan diri dari al-Quran. Perhatikanlah, akan ada para pemimpin yang memutuskan perkara untuk kalian. Jika kalian menaati mereka, mereka menyesatkan kalian. Jika kalian membangkang kepada mereka, mereka akan membunuh kalian.” Muadz bin Jabal bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang mesti kami lakukan? Nabi saw. menjawab, “(Bersabar) seperti yang dilakukan para sahabat Isa bin Maryam as. (meskipun) mereka digergaji dengan gergaji dan digantung di atas pohon. (Bagi mereka) mati dalam ketaatan lebih baik daripada hidup dalam maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR ath-Thabarani)
Kedua, mengawal kekuasaan agar tetap berjalan di atas syariah Islam. Ulama harus memperhatikan perilaku, kebijakan, kecenderungan penguasa serta orang-orang yang ada di sekeliling penguasa. Hal ini diperlukan untuk mengawal kekuasaan agar tetap sejalan dengan tuntunan Islam dan kepentingan kaum Muslim.
Ketiga, menjadi garda terdepan dalam mengoreksi penguasa zalim. Ketika ulama berlaku lurus dan tegas kepada penguasa, hakikatnya mereka telah mencegah sumber kerusakan. Sebaliknya, tatkala mereka berlaku lemah kepada penguasa zalim, saat itulah mereka menjadi pangkal segala kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali rahimahulLâh berkata:
فَفَسَادُ الرِعَايَا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ وَفَسَادُ الْمُلُوْكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ بِإِسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالجاَهِ
Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai oleh cinta harta dan ketenaran (Al-Ghazali, Ihyâ‘ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357).
Tidak Menjadi Ulama Sû’
Ulama sû‘ (ulama jahat) adalah seburuk-buruk manusia dan sumber kerusakan. Imam al-Ghazali mengatakan: Al-Harits rahimahulLâh berkata, “Saudaraku, ulama jahat itu adalah setan dari golongan manusia dan pembawa fitnah atas manusia. Mereka berhasrat pada harta dan kedudukan dunia. Mereka lebih mengutamakan dunia dibandingkan akhirat. Mereka menakwilkan agama untuk kepentingan dunia. Di dunia, mereka tercela dan terhina. Di akhirat mereka adalah orang-orang yang merugi atau Zat Yang Mulia memaafkan mereka dengan karunia-Nya.” (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, 3/265).
Di antara ulama sû’ itu adalah ulama salathîn, yaitu ulama yang menjadi stempel penguasa. Anas bin Malik ra. menuturkan sebuah hadis, “Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama sû’. Mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.” (HR al-Hakim).
Menurut adz-Dzahabi, ulama sû’ adalah ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Mereka memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa. Mereka diam saja (di hadapan penguasa). Padahal mereka mampu menjelaskan kebenaran.
Di antara perilaku keji ulama sû’ (jahat) adalah: Pertama, menjadi stempel kekuasaan zalim. Tidak ada yang lebih keji dibandingkan membantu kezaliman penguasa. Selain melanggengkan kekuasaan zalim, perbuatan ini menimbulkan madarat yang sangat besar bagi masyarakat; bagi urusan agama dan urusan dunia mereka. Ketika paham kufur atau kebijakan lalim penguasa dijustifikasi ulama, masyarakat awam akan terseret dalam kekufuran dan tenggelam dalam kesengsaraan. Nabi saw. benar-benar mencela perbuatan semacam ini. Beliau bersabda kepada Kaab bin ‘Ujrah ra.:
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
“Semoga Allah SWT melindungi kamu dari pemimpin bodoh. Kaab bertanya, “Siapa pemimpin bodoh itu.” Nabi saw. menjawab, “Para pemimpin yang datang setelah aku. Ia tidak memberi petunjuk dengan petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku. Siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kezaliman mereka, mereka tidak termasuk golonganku dan aku bukan golongan mereka, dan mereka tidak bisa mencapai telagaku.” (HR Ahmad).
Kedua, menjadi alat penguasa untuk memecah-belah umat. Di antara cara penguasa zalim untuk mempertahankan kekuasaannya adalah memecah-belah umat Islam. Jika umat terpecah-belah, kekuatan mereka melemah, dan perjuangan dakwah Islam relatif mudah dipatahkan. Cara-cara seperti ini pernah dipraktikkan oleh Belanda saat menjajah Indonesia. Dengan politik divide et impera, kolonialis Belanda berhasil mempertahankan kekuasaannya selama ratusan tahun.
Ulama tidak boleh menjadi alat penguasa untuk membuat perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim atas dasar sentimen mazhab, organisasi, dll. Ulama harus menyatukan umat dalam wadah perjuangan menegakkan syariah Islam.
Ketiga, tidak menggadaikan agama untuk kepentingan dunia. Cinta dunia merupakan pangkal dari semua keburukan. Al-Imam al-Hafizh al-Munawi mengatakan, “Cinta dunia adalah pangkal semua keburukan. Cinta dunia akan menjatuhkan manusia ke dalam ragam syubhat, lalu ke dalam ragam kemakruhan, kemudian ke dalam ragam keharaman.” (Al-Munawi, At-Taysîr fî Syarh al-Jâmi` ash-Shaghîr, 1/1000).
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. []
—*—
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad terbaik adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. (HR Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud dan an-Nasa’i). []
Download file PDF versi mobile:
Download file PDF versi cetak:
0 Response to "MENEGUHKAN PERAN ULAMA SEBAGAI MITRA PENGUASA"
Post a Comment