*TOLERANSI DALAM ISLAM*
Buletin Kaffah No. 172 (3 Jumada al-Ula 1442 H – 18 Desember 2020 M)
Salah satu isu yang terus berulang, khususnya setiap bulan Desember, adalah isu toleransi dan ucapan Selamat Natal. Ucapan Selamat Natal—termasuk membantu, memfasilitasi, terlibat langsung dan menghadiri Perayaan Natal dan agama lain—sering dikaitkan dengan sikap dan bukti toleransi.
*Islam dan Toleransi*
Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Dalam Islam, toleransi bermakna membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi juga bermakna tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam.
Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada (Kamus Al-Munawir, hlm. 702, Pustaka Progresif, cet. 14). Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut (Ajad Sudrajat dkk, Din Al-Islam. UNY Press. 2009).
Toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Imam asy-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadîr menyatakan: Abdu ibn Humaid, Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Mardawaih telah mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa orang Quraisy pernah berkata kepada Rasul saw., “Andai engkau menerima tuhan-tuhan kami, niscaya kami menyembah tuhanmu.” Menjawab itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, yakni Surat al-Kafirun, hingga ayat terakhir:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku (TQS al-Kafirun [109]: 6).
Rasulullah saw. pun tegas tidak mau berkompromi untuk melakukan ‘toleransi’ dalam bentuk terlibat, memfasilitasi apalagi mengamalkan ajaran agama lain. Imam al-Qurthubi di dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (20/225) mengungkapkan: Ketika masih di Makkah, suatu ketika beberapa tokoh kafir Quraisy menemui Nabi saw. Mereka adalah Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnu al-Muthallib dan Umayyah bin Khalaf. Mereka menawarkan toleransi kepada beliau, “Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Kemudian turunlah Surat al-Kafirun [109] ayat 1-6 yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini.
Namun demikian, Islam membolehkan kaum Muslim untuk berjual-beli, bertransaksi dan bermuamalah dengan non-Muslim. Islam juga memerintahkan kita untuk berbuat baik dan berlaku adil dan fair terhadap mereka (lihat QS al-Mumtahanah [60]: 8). Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahulLâh di dalam tafsirnya mengatakan bahwa berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk agama. Islam melarang kita berlaku zalim, aniaya dan merampas hak-hak non Muslim.
Rasul saw. banyak memberikan teladan bagaimana bermuamalah dan memperlakukan non-Muslim tanpa melakukan toleransi yang salah kaprah dan kebablasan. Beliau menjenguk tetangga beliau non-Muslim yang sedang sakit. Beliau juga biasa bersikap dan berbuat baik kepada non-Muslim.
*Haram Terlibat dalam Perayaan Hari Raya Agama lain*
Namun demikian, toleransi bukan lantas memberikan ucapan selamat atas hari raya dan perayaan keagamaan agama lain. Masalah ucapan selamat hari raya agama lain tidak selayaknya dianggap remeh. Tidak selayaknya masalah itu disepelekan, misalnya, dengan ungkapan, “Ucapan Selamat Natal tidak akan mengurangi imanmu.”
Yang harus diingat, ucapan selamat itu mengandung doa dan harapan kebaikan untuk orang yang diberi selamat. Juga menjadi ungkapan kegembiraan dan kesenangan bahkan penghargaan atas apa yang dilakukan atau dicapai oleh orang yang diberi selamat.
Padahal Perayaan Natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan dan Tuhan anak. Dengan kata lain itu adalah perayaan atas kesyirikan (menyekutukan Allah SWT).
Lalu bagaimana mungkin umat Islam mengucapkan selamat dengan semua kandungan maknanya itu kepada orang yang menyekutukan Allah SWT? Padahal jelas Allah SWT telah menyatakan mereka adalah orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72-75). Di akhirat kelak mereka akan dijatuhi siksaan yang amat pedih. Keyakinan Trinitas itu di sisi Allah SWT adalah dosa dan kejahatan yang sangat besar. Kejahatan ini nyaris membuat langit pecah, bumi belah dan gunung-gunung runtuh (lihat QS Maryam [19]: 90-92).
Jadi bagaimana mungkin bisa dibenarkan dalam pandangan Islam mengucapkan selamat kepada orang yang melakukan dan merayakan dosa yang sangat besar di sisi Allah SWT itu?
Dari sini jelaslah bahwa mengucapkan Selamat Natal dan selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru ikut serta merayakannya. Tentu lebih besar lagi keharaman dan dosanya.
MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk menghadiri perayaan Natal Bersama. Dalam fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, MUI di antaranya menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram; (2) Agar umat Islam tidak terjerumus pada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dari sini jelas, umat Islam haram terlibat dalam peribadatan pemeluk agama lain. Umat Islam juga haram merayakan hari raya agama lain, bagaimanapun bentuknya.
Kalaupun semisal memakai atribut Natal dianggap bukan bagian dari peribadatan, yang jelas atribut itu adalah identik dengan Natal. Itu identik dengan orang Nasrani. Memakai atribut Natal berarti menyerupai mereka. Padahal Rasul saw. melarang tindakan demikian:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Ash-Shan’ani menjelaskan, “Hadis ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa siapa pun yang menyerupai orang kafir dalam apa saja yang menjadi kekhususan mereka—baik pakaian, kendaraan maupun penampilan—maka dia termasuk golongan mereka.”
Berpartisipasi dalam perayaan hari raya agama lain juga jelas dilarang berdasarkan nas al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan jika mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lewat (begitu saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka (QS al-Furqan [25]: 72).
Az-Zûr itu meliputi semua bentuk kebatilan. Yang terbesar adalah syirik dan mengagungkan sekutu Allah SWT. Karena itu Imam Ibnu Katsir—mengutip Abu al-‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas dan lainnya—menyatakan bahwa az-zûr adalah hari raya kaum musyrik (Tafsir Ibnu Katsir, III/1346).
Menurut Imam asy-Syaukani, kata lâ yasyhadûna, dalam pandangan jumhur ulama, bermakna lâ yahdhurûna az-zûra, yakni tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, IV/89).
Menurut Imam al-Qurthubi, yasyhadûna az-zûra ini adalah menghadiri serta menyaksikan kebohongan dan kebatilan. Ibnu ‘Abbas, menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya orang-orang musyrik. Termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.
Kaum Muslim juga dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan hari raya agama lain. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Sungguh orang-orang yang menyukai perkara keji (maksiat) itu tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat (TQS an-Nur [24]: 19).
Menyebarkan perbuatan keji (fakhisyah) juga mencakup semua bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan, meramaikan dan menyiarkan Perayaan Natal sama saja dengan ikut terlibat dalam penyebarluasan kekufuran dan kesyirikan yang diharamkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana kaum musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar mereka, tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, I/235).
Para ulama dulu juga telah jelas menyatakan haram menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.”
Al-Qadhi Abu Ya’la berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik.”
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya.” (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm, hlm. 201).
*Khatimah*
Alhasil, kaum Muslim harus tetap memegang teguh Islam dan syariahnya. Jangan sampai terpengaruh dengan propaganda, seruan bahkan tipudaya dari pihak manapun yang sekilas terkesan baik, namun sejatinya menggiring kaum Muslim untuk menjauhi dan menanggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit.
Sebaliknya, kita mesti makin mengentalkan keislaman kita, makin kaffah menjalankan syariah dan makin bersungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariah secara kaffah di tengah kehidupan. Itulah yang akan memberikan kebaikan, keadilan, toleransi, ketenteraman dan kehidupan yang baik bagi semua manusia, Muslim dan non Muslim.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
—*—
*Hikmah:*
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian. (TQS al-Baqarah [2]: 208). []
—*—
Download file PDF versi mobile:
Download file PDF versi cetak:
0 Response to " *TOLERANSI DALAM ISLAM*"
Post a Comment