REFLEKSI 100 TAHUN DUNIA TANPA KHILAFAH - NUSANTARA BERUTANG KEPADA KHILAFAH
NUSANTARA BERUTANG KEPADA KHILAFAH
Khilafah adalah sistem kepemimpinan Islam setelah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Khilafah bertugas untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia (li-hirasah ad-din wa siyasah ad-dunya’). Khilafah juga wajib menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَآفَّةً لِلنَّاسِ
Kami tidak mengutus engkau melainkan kepada seluruh umat manusia (TQS Saba’ [34]: 28).
Nusantara tentu tidak bisa dilepaskan dari target dakwah Negara Khilafah. Cukup banyak catatan sejarah yang menuliskan jasa Khilafah dalam mendakwahkan dan menjaga Islam di Nusantara.
Peran Khilafah di Nusantara
Salah seorang Khalifah dari Bani Umayah yang sangat terkenal, Umar bin Abdul Aziz (berkuasa 717-720 M), begitu serius dalam mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Dalam tulisannya yang berjudul Two Letters from the Maharaja to the Khalifah (1963: 126-129), S.Q. Fatimi membeberkan sepak terjang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam menyebarluaskan Islam ke berbagai negeri di seluruh dunia. Termasuk Nusantara. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pula mulai terjadi hubungan Khilafah dengan Nusantara.
Menurut Fatimi, penguasa Kerajaan Sriwijaya yang saat itu berpusat di Pulau Sumatera, Maharaja Sri Indravarman, pernah menulis surat yang ditujukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Damaskus. Surat tersebut dinukil oleh Ibn ‘Abd Rabbih dalam al-‘Iqd al-Farid berdasarkan riwayat dari Nu’aym bin Hammad: “Raja Hind (Sriwijaya) mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz: Dari Raja Diraja—yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai (Musi dan Batanghari) yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil—kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz), yang tidak menyekutukan Allah dengan segala sesuatu. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimi saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya…”
Pada masa-masa berikutnya, Kesultanan Aceh yang berdiri pada tahun 1496 M, memperbarui hubungan dan ketaatannya dengan pusat kuasa Islam di Timur Tengah. Ketika pucuk Khilafah sudah beralih ke Bani Utsmaniyah di Turki, Sultan Aceh yang ketiga, Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (berkuasa 1537-1571), mengirim surat kepada Khalifah Sulaiman al-Qanuni di Istanbul pada tahun 1566. Dalam surat itu ia menyatakan baiatnya kepada Khilafah Utsmaniyah dan memohon agar dikirimi bantuan militer ke Aceh untuk melawan Portugis yang bermarkas di Malaka (Topkapı Sarayı Müsezi Arşivi, E-8009).
Pengganti Khalifah Sulaiman al-Qanuni, yakni Salim II, mengabulkan permohonan Sultan al-Qahhar dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh. Dalam surat balasannya kepada Sultan Aceh itu, Khalifah Salim II menulis bahwa melindungi Islam dan negeri-negeri Islam adalah salah satu tugas penting yang diemban oleh Khilafah Utsmaniyah. Khalifah Salim II pun menunjuk kepala provinsi (sancak) Alexandria di Mesir, Kurdoglu Hizir Reis, untuk menjadi panglima perang dan dikirim ke Aceh demi memerangi kaum kafir Portugis dengan pertolongan Allah dan Rasul-Nya (BOA, A.DVNS.MHM, 7/244).
Dengan bantuan yang didapat dari Khilafah Utsmaniyah ini, Sultan al-Qahhar dari Aceh dapat menyerang Portugis di Malaka pada 20 Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 Jannisaries Utsmaniyah dan 200 meriam perunggu (Amirul Hadi, 2004: 23).
Kehadiran pasukan Khilafah Utsmaniyah di Nusantara benar-benar menggetarkan Portugis; sebaliknya, begitu membahagiakan Muslim dan menguatkan Islam. Aliansi antara Sultan al-Qahhar dari Aceh dan Khilafah Utsmaniyah inilah yang kemudian dipaparkan oleh Syaikh Nuruddin ar-Raniri dalam kitab Bustan as-Salathin yang ia tulis: “Kemudian dari itu maka Kerajaan Sultan Alauddin Riayat Syah bin Sultan ‘Ali Mughayat Syah, pada Hari Itsnain, waktu Dhuha, dua puluh hari bulan Dzul-Qa’dah. Ialah yang mengadatkan segala istiadat Kerajaan Aceh Darussalam, dan menyuruh utusan kepada Sultan Rum, ke negeri Istanbul (Khilafah Utsmaniyah), kerana menegohkan agama Islam. Maka dikirim oleh Sultan Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu menuang bedil. Maka pada zaman itulah dituang orang meriam yang besar-besar…” (Teuku Iskandar [ed.], 1996: 31-32)
Selain Sultan Aceh, para sultan lain di Nusantara selama abad ke-16 juga beraliansi dan menyiratkan kekaguman yang mendalam kepada Khilafah Utsmaniyah. Sultan Babullah bin Khairun di Ternate bekerjasama dengan 20 orang ahli senjata dan tentara Khilafah Utsmaniyah ketika memerangi Portugis di Maluku sepanjang tahun 1570-1575 (Leonard Andaya, 1993: 134, 137).
Berkat semangat jihad dan kerjasama yang luar biasa antara kaum Muslim di Maluku dan pasukan Khilafah Utsmaniyah, penjajah Portugis dapat hengkang dari Bumi Maluku setelah masa Sultan Babullah untuk selama-lamanya.
Sultan Demak yang keempat, Sunan Prawoto, juga menjadikan penguasa Utsmaniyah sebagai panutan dalam cita-citanya untuk mengislamkan seluruh Tanah Jawa (de Graaf & Pigeaud, 2019: 126).
Sepanjang abad ke-17, banyak penguasa Islam di Nusantara yang mengirimkan utusan ke Makkah atau Istanbul untuk menyatakan ketundukannya kepada Khilafah Utsmaniyah. Mereka lalu mendapat legitimasi sebagai ‘wakil Khalifah’ di masing-masing negerinya. Para sultan di Aceh, Banten, Mataram sampai Makassar melakukan itu semua. Sultan Aceh yang berkuasa pada abad ke-19, Sultan Ibrahim Manshur Syah, bahkan terang-terangan menyatakan negerinya sebagai bagian dari Khilafah Utsmaniyah dalam suratnya kepada Sultan Abdülmecid I pada tahun 1850: “Sesungguhnya kami penduduk negeri Aceh, bahkan seluruh penduduk di Pulau Sumatera, semuanya tergolong sebagai rakyat Negara Adidaya Utsmaniyah dari generasi ke generasi.”
Tak hanya sekadar mengakui wilayah Aceh dan Sumatera sebagai bagian dari Khilafah Utsmaniyah, Sultan Ibrahim Manshur Syah juga menjadikan Khilafah Utsmaniyah sebagai tempat meminta izin untuk menggalang persatuan para sultan di Nusantara demi menegakkan jihad mengusir penjajah Belanda: “Maka dari itu, yang diharapkan dari sumber kasih sayang Tuan yang berbahagia (Khalifah Utsmaniyah) adalah menganugrahi kami sebuah titah Kesultanan yang dapat menyatukan seluruh para pembesar rakyat kami dari kaum Muslimin supaya suara mereka bersatu padu dan bulat untuk menegakkan jihad di jalan Allah dan mengusir kaum kafir Nasrani itu dari negeri-negeri kaum Muslimin…” (BOA, I.HR, 73/3551).
Melawan Penjajah Belanda
Supremasi politik Khilafah Utsmaniyah atas kaum Muslim sedunia tentu diakui pula oleh kaum Muslim Nusantara yang berada dalam jajahan Belanda. Goenawan, Ketua Sarekat Islam afdeling (cabang) Batavia yang merangkap kepala redaktur salah satu koran terbitan Sarekat Islam, Pantjaran Warta, dalam artikel yang ia tulis pada 10 November 1914, menulis: “Di seloeroeh doenia hanja Turkyelah jang masih tinggal merdika, dari sebab Turkye yang memegang wasiat Nabi kita. Begitoelah orang moeslimin memandang Turkye sebagai keradjaan jang melindoenginja dalam laoetan fitnah dan perdoehakaan dari fehak moesoehnja. Begitulah perasa’annja kebanjakan orang orang moeslimin di tanah-tanah jang ada dalam genggamannja kekoeasa’annja Europa…”
Ketika masa Khalifah Abdülhamid II yang terbentang dari tahun 1876-1908, otoritas Utsmaniyah banyak menempatkan konsul-konsulnya di Batavia. Keberadaan konsul-konsul Utsmaniyah ini begitu mengganggu Pemerintah Kolonial Belanda. Snouck Hurgronje mencibir, “Mereka itu adalah para perantara dalam hubungan-hubungan, yang misalnya ada di antara orang-orang Arab, Melayu, Aceh di Hindia-Belanda dengan ‘Sang Panatagama di Turki’ (maksudnya Sultan Abdülhamid II, red.), dan mereka mengusahakan supaya surat-surat kabar yang mendapat perlindungan dari Istana selalu memburuk-burukkan Pemerintah Kolonial dan Ratu Belanda.” (Snouck Hurgronje, 1996: 58).
Salah seorang konsul Utsmaniyah yang bertugas di Batavia pada tahun 1897-1898 adalah Mehmed Kamil Bey. Selama bertugas, Mehmed Kamil Bey berusaha sungguh-sungguh untuk membangkitkan perasaan anti-Belanda di antara kaum Muslim setempat. Koran berbahasa Inggris yang terbit di Singapura pada 29 Desember 1898 merangkum kegiatan perlawanannya: “Dia dengan mencolok tidak hadir dalam upacara penobatan Ratu (Belanda), seolah ingin menunjukkan kepada penduduk pribumi bahwa dia bisa bertindak merendahkan pemerintah Belanda.”
Mehmed Kamil Bey juga “diketahui menggoyahkan kesetiaan dua raja pribumi tertinggi di Jawa Tengah dan mengirim surat kepada seorang raja di bawah kekuasaan Belanda di Borneo atau Sumatera untuk mencoba mempengaruhi raja agar mengurangi kesetiaannya (kepada Belanda).” (Nico J.G. Kaptein, 2003: 109-110)
Khatimah
Sungguh, pemerintahan Islam yang bernama Khilafah pernah memainkan perannya di negeri kita. Rentang jarak pusat Khilafah yang jauh di Bagdad, Kairo, atau Istanbul, tidak menyurutkan kepedulian para Khalifah dan kaum Muslim di sana untuk Nusantara. Betapa banyak jejak Khilafah yang masih berbekas di berbagai pulau di Asia Tenggara. Tentu, jejak yang paling jelas dan nyata dari peran Khilafah di masa lalu adalah keislaman kita. Dengan pengiriman para da’i yang menyebarkan Islam dan pasukan militer yang dikirim Khilafah ke Nusantara untuk mengusir penjajah Eropa, kita bisa merasakan nikmatnya Islam dan persaudaraan umat Islam yang tak mengenal sekat kebangsaan.
Betapa Khilafah mempunyai jasa yang besar untuk kebaikan di negeri ini. Para orangtua kita pun pada masa lalu memandang positif Khilafah sebagai kepemimpinan tunggal bagi kaum Muslim global. []
—***—
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (TQS al-Anbiya’ [21]: 107). []
—***—
0 Response to "REFLEKSI 100 TAHUN DUNIA TANPA KHILAFAH - NUSANTARA BERUTANG KEPADA KHILAFAH"
Post a Comment