HUKUM SHOLAT TARAWIH, SAHUR, DAN NIAT PUASA SEBELUM TERBUKTINYA RUKYATUL HILAL RAMADHAN
Siap siap sambut Ramadhan 1442H.
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah kita shalat tarawih, sahur, atau niat puasa pada malam hari menjelang masuknya bulan Ramadhan, tapi belum ada pengumuman rukyatul hilal untuk bulan Ramadhan? (Nuhbatul Basyariah, Jogjakarta).
Jawab :
Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan shalat tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan walaupun sekedar untuk jaga-jaga, jika belum terbukti adanya rukyatul hilal untuk bulan Ramadhan.
Keharaman melakukan hal-hal tersebut didasarkan pada 2 (dua) alasan sbb: Pertama, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Ramadhan, berarti malam itu masih dianggap bulan Sya’ban. Ini adalah pengamalan istis-haabul ashl, yakni kaidah fiqih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru. Kaidah fiqih yang termasuk istis-haabul ashl misalnya :
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان
“Al ashlu baqaa`u maa kaana ‘ala maa kaana (yang menjadi hukum asal adalah tetapnya apa yang ada mengikuti apa yang telah ada sebelumnya). (Tajuddin As Subki, Al Asybah wa An Nazha`ir, 1/49).
Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya bulan Sya’ban, yaitu tidak berubah menjadi bulan Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Ramadhan. Jika rukyatul hilal Ramadhan belum terbukti, berarti orang yang shalat tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan, sebenarnya melakukan hal-hal itu sebelum waktu yang disyariatkan. Artinya, dia berarti shalat tarawih pada bulan Sya’ban, atau makan sahur pada bulan Sya’ban, atau niat puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Jelas ini merupakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ
”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718).
Kedua, karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal Ramadhan, berarti “sebab” pelaksanaan puasa Ramadhan belum ada. Dengan demikian, hukum-hukum syariah yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) juga belum ada. Misalnya pelaksanaan puasa Ramadhan, dan termasuk juga hukum-hukum syara’ lainnya yang terkait yang hanya dilaksanakan di bulan Ramadhan, seperti shalat tarawih, sahur, atau niat puasa.
Dalam ilmu ushul fiqih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syara’ yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) akan ada (terwujud/terlaksana). Sebaliknya jika “sebab” tidak ada, maka “musabbab” juga tidak ada. Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat, tercapainya nishab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqashar atau menjamak sholat, akad nikah adalah sebab bolehnya jima’, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dst. (Imam Ghazali, Al Mustashfa fi ‘Ilmil Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al Muwafaqat, 1/187).
Dalam hal ini hadits-hadits shahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi pelaksanaan puasa Ramadhan adalah rukyatul hilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal melalui hisab hakiki). Di antaranya sabda Rasulullah SAW :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
”Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawwal]. Maka jika pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan Sya’ban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080). (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).
Maka dari itu, jika rukyatul hilal bulan Ramadhan telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya jika rukyatul hilal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan. Kaidah fiqih yang terkait masalah “sebab” menetapkan :
لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ
Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi (suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang / sudah tidak ada sebabnya). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, 2/949).
Walhasil, haram hukumnya melakukan shalat tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal Ramadhan. Karena bulan yang ada masih bulan Sya’ban dan apa yang menjadi sebab hukumnya, yaitu rukyatul hilal bulan Ramadhan, tidak ada. Wallahu a’lam.
0 Response to "HUKUM SHOLAT TARAWIH, SAHUR, DAN NIAT PUASA SEBELUM TERBUKTINYA RUKYATUL HILAL RAMADHAN"
Post a Comment